Bukan karena kita tahu mereka benar, malah hati kita mengatakan sebaliknya, tapi karena kita tahu harus menjawab apa? Sikap tidak berdaya ini yang lama-lama membuat kita akhirnya membenarkan pendapat tadi. Tidak berdaya karena tidak tahu apa-apa. Terkadang malah tidak mau tahu apa-apa tentang Islam. Akhirnya jadilah kita termasuk orang-orang yang meyakini Islam tidak menghargai wanita, Islam menindas wanita. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan derasnya kemajuan zaman. Tapi Sungguh ironis jika dibandingkan dengan perkembangan Islam di Eropa.
Islam berkembang begitu pesat. Begitu banyak orang Eropa memeluk Islam. Dan makin kaget ketika mengetahui yang paling banyak memeluknya justru wanita. Seperti yang terjadi di Inggris. Kenapa bisa begitu? Padahal selama ini kita selalu berkiblat pada peradaban Barat. Melihat mereka sebagai contoh yang tepat untuk memperlakukan wanita. Tetapi kenapa sebaliknya? Kenapa para wanita Eropa tersebut malah memeluk Islam? Agama yang selama ini dikatakan mengekang, menindas dan tidak menghargai wanita? Oleh karena itu mari kita coba menoleh sebentar, mengetahui bagaimana pandangan Islam mengenai wanita.
Melihat pandangan sebuah agama mengenai sesuatu lebih tepat jika kita melihat apa yang diajarkan, bukan apa yang dikerjakan pemeluknya. Karena melihat dari pemeluk suatu agama bukan berarti mereka sudah menjalankannya dengan benar. Lantas bagaimana Islam memandang wanita? Apakah Islam menghargai wanita? Kedudukan pria dan wanita dihadapan Allah adalah sama. Hanya ketaqwaanlah yang dinilai oleh Allah. Hal ini dapat kita lihat sebagaimana di surat At Taubah,
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (QS At taubah : 71-72)\
Kedua ayat inilah yang menegaskan samanya kedudukan pria dan wanita di hadapan Allah. Tidaklah wanita itu lebih rendah kedudukannya daripada pria. Malah, ketika kita melihat bagaimana Al Quran mengisahkan bagaimana Nabi Adam dan Hawa diturunkan ke Bumi akibat kekhilafan mereka, bukanlah Hawa yang disalahkan.
Dalam Al Quran, dikatakan dengan jelas bahwa keduanya sama-sama digelincirkan oleh syaitan. Sehingga keduanya dikeluarkan dari surga. Dan dijelaskan pula keduanya yang diperdaya oleh syaitan dan mereka berdua pula yang harus bertanggung jawab atas kesalahan mereka.
Malah jika ditelisik lagi, maka diantara mereka berdua Nabi Adamlah yang harus bertanggung jawab, karena beliau lalai akan janjinya pada Allah. Bukan Hawa.
Tapi dalam Agama Kristen Yang Disalahkan adalah Wanita
Dalam Bibel, Perjanjian Baru, Timotius 2 :14-15 dikatakan demikian, “Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Tetapi perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak, asal ia bertekun dalam iman dan kasih dan pengudusan dengan segala kesederhanaan”.
Dalam ayat Bibel di atas, wanita disalahkan sebagai biang dosa yang menyebabkan Nabi Adam as turun ke bumi. Kisah tentang Hawa yang memberikan buah terlarang pada Adam (Kejadian 3 :1-19), sehingga Hawa mendapatkan laknat abadi karena mewariskan dosa.
Jelaslah bahwa dalam Islam pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama di mata Allah. Dalam Al Quran dijelaskan pria dan wanita itu pada hakekatnya adalah satu.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-nisa : 1)
Bila kita renungkan ayat ini, walaupun manusia itu terdiri dari pria dan wanita, pada dasarnya mereka adalah manusia juga. Dan darinya Allah menciptakan pria dan wanita sebagai jodohnya. Sehingga yang satu membutuhkan yang lain. Hingga tak salah jika Allah mengumpamakan pria dan wanita itu ibarat pakaian.
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. (QsAl Baqarah : 187)
Sungguh indah perumpamaan yang Allah buat. Pria dan wanita yang diciptakan untuk saling melengkapi dan menutupi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saling melengkapi dan dalam ketaqwaan kepada Allah dan memelihara hubungan antar sesama manusia dengan kasih sayang.
Dalam sejarahnya, wanita pada zaman sebelum Al quran turun, tidaklah lebih berharga daripada barang. Yang bisa dimiliki, bisa diperlakukan seenaknya. Dan kedudukan wanita pun sangat rendah. Saat itu jika seseorang memiliki bayi perempuan yang baru lahir, maka buat mereka itu adalah aib. Tak sedikit anak perempuan yang lahir itu dikubur hidup-hidup. Perempuan dewasa pun nasibnya tidak lebih baik. Seorang wanita bisa di pergilirkan oleh beberapa pria.
Bayangkan bagaimana perasaan kaum wanita ketika Islam datang. Mereka memperoleh harga dirinya kembali. Didudukkan sejajar dengan pria. Maka tak heran, orang-orang pertama yang memeluk Islam sebagian dari kalangan wanita. Terlebih pengakuan terhadap wanita diabadikan dalam Alquran. Terdapat surat Maryam yang menggambarkan kesucian seorang wanita yang shaleh. Surat An Naml, yang mengisahkan seorang Ratu Bilqis dengan kekuasaan yang besar namun tunduk kepada Allah. Bahkan terdapat satu surat yang memakai nama kaum wanita, yaitu surat An Nisa. Dapatkah kita temukan penghargaan ini pada kitab suci agama lain?
Jelas sudah bagaimana kedudukan wanita dalam Islam. Ditempatkan dalam kedudukan sejajar dengan pria. Memiliki kewajiban yang sama dihadapan Allah untuk berbuat kebaikan dan menolak kejahatan, dan kewajiban ibadah yang sama. Namun dalam menjalankan kewajiban tersebut Islam mengakomodasi keistimewaan pria dan wanita. Pria dan wanita diciptakan oleh Allah dengan kondisi fisik, emosi dan psikologis yang berbeda. Pria diciptakan dengan kondisi fisik yang lebih kuat, dan lebih berpikir mengutamakan logika.
Hal ini untuk mengakomodir tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi keluarganya. Sedangkan wanita diciptakan dengan kondisi fisik yang tak sekuat pria, namun dengan hati yang sangat lembut dan lebih penyayang. Naluri ini membentuk naluri keibuan yang menjadi ciri istimewa seorang wanita. Kombinasi ketegasan pria dan kelembutan serta sifat penyayang wanita menjadi suatu sifat yang saling melengkapi. Sebuah rumah tangga yang terdiri dari dua sifat utama tadi akan menjadi rumah tangga yang sempurna dan lengkap. Yang pria dituntut untuk bekerja keras mencari kebutuhan keluarga, memimpin dan melindungi mereka. Yang wanita dituntut memelihara, membina mendidik anak di rumah tangganya yang menguras tenaga. Keduanya sama-sama berkorban. Inilah yang diminta oleh Islam.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…(Qs. An-nisa : 34)
Islam telah menempatkan pria menjadi pemimpin bagi wanita. Bukan karena wanita lebih rendah kedudukannya, namun karena Allah memberi kelebihan tertentu kepada pria. Kelebihan fisik, kelebihan ketegasan namun juga diberi tanggung jawab yang lebih berat. Secara naluriah pun pria dibentuk menjadi pemimpin. Ketika ada sekelompok orang tidak saling mengenal, terjebak dalam sebuah kapal yang karam, maka prialah yang mendahulukan wanita untuk selamat. Ketika ada rumah yang kemasukan perampok, maka anak laki-lakilah yang melindungi anggota keluarga yang lain. Ini bukan akbiat konstruk sosial seperti yang didengungkan para feminis. Pria harus bergerak ketika ada kejadian tadi karena memang dilebihkan oleh Allah, namun kelebihan itu pula harus mereka pertanggung jawabkan.
Begitu pula dalam rumah tangga. Pria menjadi pemimpin atas keluarganya, atas diri, anak dan istrinya. Sementara istri menjadi pemimpin atas rumah suaminya beserta istrinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Hadis Shahih riwayat Bukhari no. 4789)
Ketika Islam menempatkan pria sebagai pemimpin keluarga dan wanita sebagai pemelihara rumah tangga maka bukanlah berarti Islam merendahkan wanita. Melihat pria sebagai pemimpin keluarga (rumah tangga) jangan dilihat sebagai ketentuan Islam untuk melebihkan pria. Inilah yang banyak disalahpahami. Sering dianggap pemimpin rumah tangga itu sebagai kemewahan atau disamakan dengan jabatan. Kita harus melihat hal ini dari kacamata Islam. Kacamata yang menimbangkan dunia dan akhirat. Menjadi pemimpin berarti harus berpikir keras memberikan keputusan yang terbaik bagi keluarganya. Harus mencarikan penghidupan yang terbaik yang halal dan mengarahkan bahtera keluarganya. Dan yang terpenting, bertanggung jawab atas keluarganya, tidak hanya di dunia, namun terlebih di akhirat nanti.
Dan memikul beban dan mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah nanti sungguh sangat berat. Itulah yang sering luput dari pihak yang masih salah memahaminya.
Begitu pula dengan peran wanita sebagai pemelihara rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga bukan “pekerjaan” yang hina. Malah sebaliknya, sangat mulia dan tidak ternilai. Bayangkan, para ibu bekerja tanpa batasan waktu. Tanpa digaji. Namun buah yang mereka hasilkan akhirnya luar biasa. Tak bisa dipungkiri peran didikan ibu pada tokoh-tokoh sukses. Para ibu rumah tangga bukan saja menghasilkan pribadi, namun menghasilkan sebuah generasi yang luar biasa. Inilah pokok dari Islam. Islam tidak hanya berbicara mengenai membentuk pribadi yang bermanfaat, namun lebih dari itu menciptakan sebuah generasi, masyarakat yang bermanfaat. Dan untuk membentuk masyarakat yang bermanfaat dibutuhkan peran dari ibu-ibu rumah tangga yang luar biasa. Ibu rumah tangga ibarat tiang dalam sebuah rumah.
Peran ini menuntut totalitas dari seorang ibu rumah tangga. Dan apabila seorang ibu rumah tangga membentuk anak-anak yang bermanfaat, bukankah ibu tersebut turut menerima ganjaran (pahala) yang diperoleh dari kebaikan yang dilakukan anak-anaknya? Inilah yang luput dari sebagian kita, ketika Islam memerintahkan sesuatu maka kita hanya mempertimbangkan aspek duniawinya saja, padahal ada aspek lebih penting, yaitu kebaikan yang diperoleh di akhirat
Keterangan diatas menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap wanita. Namun kesalahpahaman kerap kali terjadi ketika menemui beberapa tuntunan Islam yang berhubungan dengan memperlakukan wanita. Diantaranya yang kerap menjadi pertanyaan mengapa pembagian waris untuk wanita lebih sedikit daripada pria? Apakah ini semacam diskriminasi?
Salah satu topik yang menarik diperbincangkan dalam isu kesetaraan gender (gender equality) adalah hukum waris. Aktifis feminisme meyakini bahwa hukum waris tidak memihak perempuan. Hukum ini tidak adil karena laki-laki mendapatkan bagian yang lebih dibandingkan perempuan.
Dalam konteks hukum Islam, mereka menggugat hukum waris antara laki-laki dan wanita. Hukum waris harus diganti, kata mereka. Anggapan bahwa pembagian harta warisan bagi seorang anak laki-laki sebanding dengan dua orang anak perempuan merupakan sebuah kedzaliman terhadap perempuan. Amina Wadud Muhsin, seorang tokoh feminis, memandang bahwa pembagian warisan bersifat fleksibel asal memenuhi asas manfa’at dan keadilan. Dengan demikian, bisa berubah sesuai realitas zaman. Namun pertanyaannya sekarang adalah benarkah demikian?
Sistem Pembagian Hak Waris dalam Islam
Untuk memperjelas suatu pemahaman, terlebih dahulu akan dikemukakan definisi tentang waris. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal dunia. Sesuatu yang diwariskannya itu, seperti harta dan nama baik disebut warisan. Kedua kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab, yaitu waritsa, yaritsu wirâtsatan. Menurut Ibnu Faris dalam bukunya Mu`jam Maqâyîs al-Lughah, akar kata waw ra tsa maknanya berkisar pada perpindahan sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok kepada orang lain, baik karena keturunan atau sebab lain.
Salah satu ayat tentang pembagian waris yang selalu dijadikan alat probaganda untuk memojokkan Islam adalah ayat 12 surat An-Nisa’ (yushîkumullâh fî awlâdikum, li adz-dzakarayni mitslu hazzil untsayayni). Ayat ini dipandang bertentangan dengan prinsip persamaan dan keadilan yang sangat dijunjung tinggi oleh peradaban modern.
4. An Nisaa'11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
adapun Beberapa Hal yang Membuat Harta Warisan yang Berbeda antara Wanita dan Laki - Laki
karena beberapa hal :
- Perempuan selalu terpenuhi segala kebutuhannya, karena nafkahnya menjadi tanggung jawab anak laki-lakinya, ayahnya, saudara laki-lakinya, dan setelah menikah, tanggung jawab suaminya.
- Perempuan tidak punya kewajiban berinfaq untuk orang lain, sedangkan laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya.
- Belanja laki-laki dan pengeluaran keungannya lebih besar dari pada perempuan, maka harta yang dibutuhkan jauh lebih banyak.
- Laki-laki ketika menikah, mempunyai kewajiban membayar mahar, disamping menyediakan tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya setelah berumah tangga.
- Biaya pendidikan dan pengobatan anak-anak dan istri adalah tanggung-jawab suami (laki-laki).
Laki laki mewarisi dua kali lebih banyak dari pada perempuan karena dia menopang keuangan keluarga
Wanita menerima warisan lebih sedikit daripada lelaki, tetapi tahukah harta itu menjadi milik pribadinya dan tidak perlu diserahkan kepada suaminya, sementara apabila lelaki menerima warisan, Ia perlu/wajib juga menggunakan hartanya untuk isteri dan anak-anak.
Islam mewajibkan laki laki bertanggung jawab mencukupi kebutuhan keluarganya. Agar memenuhi tanggung jawab, laki laki memperoleh bagian dua kali lebih banyak dalam waris. Misalnya jika seorang laki laki mati dengan meninggalkan uang sekitar Rp 150.000, untuk anak anaknya (missal satu anak laki laki dan satu anak perempuan), anak laki lakinya mewarisi Rp 100.000 dan anak perempuannya hanya Rp.50.000. dari uang Rp 100.000 yang diterima anak laki-laki itu sebagai kewajiban terhadap keluarganya, bisa saja daia harus membelanjakan hampir seluruh bagian warisan atau katakanlah sekitar Rp, 80.000, sehingga dia Cuma menikmati sedikit dari warisan, katakanlah sekitar Rp. 20.000
Sementara itu, si anak perempuan, yang mewarisi Rp 50.000, tidak wajib mengeluarkan sepeserpun untuk siapapun. Dia boleh menyimpan semua bagian warisannya untuk diri sendiri. Apakah anda lebih suka mewarisi Rp.100.000 dan membelanjakannya Rp 80.000 atau mewarisi Rp. 50.000 dan menympan uang itu untuk diri anda sendiri??
Di dalam Surah an-Nisa pada ayat tersebut terlihat bahwa tidak selamanya laki-laki mendapat bagian lebih banyak dibanding perempuan. Ada kalanya bagian laki-laki sama dengan bagian perempuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh ‘status’ yang disandangnya. Apakah ia bertindak sebagai anak (perempuan maupun laki-laki)? Apakah ia bertindak sebagai pasangan (suami maupun istri)? Apakah sebagai saudara si mayit? Ataukah ia bertindak sebagai kakek dan nenek?
Di bawah ini adalah tabel pembagian waris –berdasarkan Surah a-Nisa’ ayat 11-12- antara laki-laki dan perempuan yang berada dalam bagian yang sama maupun dalam bagian yang berbeda (yaitu laki-laki mendapat bagian 2 kali lipat dibanding perempuan):
Dari tabel di atas jelas terlihat bahwa laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan ketika dalam keadaan dua ‘status’, yaitu sebagai anak dari si mayit dan pasangan dari si mayait. Hikmah dari perbedaan perolehan harta warisan dalam kondisi tersebut adalah laki-laki menikah dengan seorang wanita, dan dia berkewajiban untuk menghidupinya dan menghidupi anak-anaknya dalam segala keadaan. Baik ketika wanita itu bersamanya atau ketika ia telah diceraikan darinya. Sedangkan wanita, ia cukup mengurusi dirinya sendiri, atau malahan juga diurusi oleh lelaki, baik sebelum ataupun sesudah menikah (Imad Zaki Al-Barudi, 2007: hlm.288).
Di halaman yang sama, Imad Zaki Al-Barudi menjelaskan bahwa perbedaan bagian waris bukan masalah pilih kasih kepada lelaki dengan mengalahkan perempuan. Tetapi masalahnya adalah tentang keseimbangan dan keadilan antara beban-beban yang ditanggung laki-laki dan beban-beban yang ditanggung perempuan dalam sebuah kewajiban keluarga dan dalam sistem sosial Islam.
Adanya tuduhan bahwa dalam hak waris terdapat ketidakadilan atau kedzaliman itu lebih disebabkan karena melihat perempuan secara individual, bukan sebagai bagian dari anggota keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri yang saling melengkapi. Pemikiran seperti ini disebabkan karena pengaruh peradaban Barat. Barat memandang manusia secara individualis; hanya melihat perempuan sebagai individu dan sebagai manusia. Lebih dari itu, peradaban Barat mengajarkan paham equality (kesetaraan) yang tidak melihat sisi kodrat dan fitrah wanita. Sedangkan Islam, meskipun mengakui sisi kemanusiaan perempuan dengan segala hak yang terkait dengannya, Islam tetap menghargai fitrah yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia. Karenanya Islam memperlakukan perempuan sebagai manusia dan sebagai pasangan laki-laki secara proporsional. Demikian pula yang terkait dengan ketentuan-ketentuan hukum dan etika pergaulan.
Dari uraian di atas, dapat kami simpulkan bahwa ketentuan al-Qur’an tentang pembagian waris antara laki-laki dan perempuan tidak selamanya berbeda. Persamaan dan perbedaan tersebutdipengaruhi oleh ‘status’ yang disandangnya. Ketika terjadi perbedaan bagian yang diterima antara laki-laki dan perempuan,hal itu dikarenakan kewajiban dan kebutuhan mereka memang berbeda, tidak dapat disamakan antara satu dengan yang lain. Perbedaan itulah yang menjadikan keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Karena adil itu bukan menyamakan porsi, sementara kewajiban dan kebutuhannya berbeda.
Sekarang Kita Lihat Gimana Konsep Pembagian Harta Warisan Didalam Kristen
SEORANG ANAK PEREMPUAN TIDAK MEMILIKI HAK WARIS BILA MEMPUNYAI SAUDARA LAKI LAKI
Bila seorang ayah meninggal dan meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan maka yang menjadi pewaris hanyalah anak laki-laki sedang anak perempuan tidak mendapat warisan. (bilangan 27:1-11).
Bagaimana Hai Umat Kristen Bukannya Umat Kristen sendirilah Yang Sudah Melecehkan Kaum Wanita ??? sadarkah Kalian??
Nb:
“Dan apabila kamu membaca Al Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup, dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Quran, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya,” (QS. Al-Israa 45-46)
“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkani (bacaan)mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. Dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: “Al-Quran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu”.” (QS. al-Anam: 25)
Wallahu'alam Bishshawab
Sumber: Al Quran Dan Bible
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tinggalkan Pesan anda sebelum meninggalkan Blog ini. Terima Kasih atas Kunjungannya.