Saya membaca satu tulisan dari seorang ustad yang cukup
terkenal tentang “Pandangan Islam terhadap Harta.” Isinya cukup bagus,
di antaranya mengajarkan pembaca untuk jadi kaya sehingga bisa
menggunakannya untuk kebaikan.
Pada
dasarnya harta punya sifat yang saling bertolak belakang.
Kadang-kadang dapat menyelamatkan pemiliknya, namun tak sedikit pula
mencelakakan. Oleh sebab itu Islam telah mengatur bagaimana caranya
seorang muslim dapat memanfaatkan harta yang dimilikinya itu agar
berguna bagi kehidupan dunia dan akhirat. Belumlah lengkap jika harta
itu hanya dinikmati untuk kepentingan duniawi dan sama sekali tak
berpengaruh pada kehidupan akhirat. Keduanya harus mendapat porsi yang
seimbang.
Harta bukan suatu tujuan hidup.
Bukan suatu sebab untuk mencapai kebahagiaan. Kalau seseorang
menempatkan harta sebagai tujuan hidup dan menganggap segalagalanya,
maka ia akan sering mendapatkan kesulitan daripada kedamaian hati.
Tujuan hidup adalah melaksanakan suatu kewajiban-kewajiban. Adapun
harta benda yang kita miliki merupakan sarana untuk mendukung
pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu. Kita beribadah perlu harta. Orang
tak akan bisa membangun masjid, menyantuni yatim piatu, berzakat dan
bersedekah dan berangkat haji tanpa didukung oleh sarana harta benda.
Kadang-kadang
orang jadi tergila-gila oleh harta benda. Ia membanting tulang dan
memeras keringat, tak kenal siang atau malam, tak kenal kawan atau
lawan asal tujuannya tercapai. Kalau harta sudah didapat, ia ingin
lebih banyak lagi dan ingin terus bertambah.
Kesibukannya
memburu harta membuat dirinya lupa terhadap kewajiban. Ibadahnya jadi
malas. Bahkan hatinya jadi kikir. Harta yang terkumpul sangat
dicintainya sehingga enggan mengeluarkan sedekah atau berzakat.
Orang-orang yang demikian ini justru jadi budak hartanya sendiri.
Sangatlah
beruntung orang kaya yang mampu mengendalikan harta kekayaannya.
Dimanfaatkan untuk jalan kebaikan, gemar bersedekah, berzakat,
menunaikan ibadah haji, infak, menyantuni yatim piatu dan sebagainya.
Semakin banyak hartanya semakin sering pula ia bersyukur pada Allah.
Ibadahnya pun jadi lebih tekun. Orang-orang yang demikian ini sadar
kalau harta yang didapatkan semata-mata karena kemurahan Allah sehingga
dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Orang kaya yang menunda-nunda (mengulur-ulurkan waktu) pembayaran hutangnya adalah kezaliman. (HR. Bukhari)
Seorang
ulama harusnya mewarnai ummatnya dengan sibghatullah. Bukan justru
diwarnai ummatnya terutama dengan hal-hal yang kurang sesuai dengan
ajaran Islam.
Sebagai orang Islam, pedoman kita adalah
Kitabullah Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Insya Allah, Al Qur’an itu Haq
dan Nabi itu maksum terjaga dari dosa dan kesalahan. Ada pun manusia
biasa termasuk ulama tidak lepas dari salah dan lupa.
Dari
berbagai ayat Al Qur’an dan Hadits yang saya baca, saya mengambil
kesimpulan bahwa Islam itu menganjurkan ummatnya untuk memberi. Bukan
untuk menjadi kaya. Contohnya kita disuruh membayar zakat dan juga
bersedekah.
Mungkin ada yang bertanya, ”Apa bedanya ”Memberi” dengan ”Menjadi Kaya”? Bukankah untuk memberi kita harus kaya?”
Meski
sekilas ”Memberi” sama dengan ”Menjadi Kaya”, tapi tidak serupa.
Betapa banyak orang yang kaya tapi tidak mau bayar zakat atau
bersedekah? Sebaliknya berapa banyak orang miskin atau yang hidupnya
biasa saja tapi justru rajin berzakat dan sedekah? Banyak orang yang
kaya tapi tidak berhaji. Sebaliknya banyak orang yang pas-pasan seperti
TKI dan TKW malah bisa naik haji.
Mungkin ada yang bertanya, ”Apa iya orang miskin atau pas-pasan bisa sedekah/bayar zakat?” Jawabnya bisa:
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya: Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling mulia? Beliau menjawab: “Sedekah orang yang tak punya, dan mulailah memberi sedekah atas orang yang banyak tanggungannya. Dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim.
Dalam
Islam, yang diperintahkan adalah membelanjakan harta untuk kebaikan.
Bukan menjadi kaya. Misalnya dalam rukun Islam tidak ada perintah jadi
orang kaya. Yang ada adalah membayar zakat dan pergi berhaji JIKA
mampu.
Saat ini saya melihat sebagian orang menganggap
bahwa Islam mengharuskan ummat Islam harus kaya dengan alasan Nabi dulu
kaya dan banyak perintah Islam seperti Zakat, Haji, Sedekah
mensyaratkan adanya kekayaan.
Meski sekilas kelihatan
benar, namun kiranya hal itu kurang tepat. Apalagi jika akhirnya untuk
menjadi kaya semua cara dihalalkan dan membelanjakannya pun dengan
bermewah-mewah serta memandang hina orang miskin.
”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” [Al Baqarah:43]”Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” [Al Baqarah:83]
”Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” [Al Baqarah:110]
Ayat-ayat Al Qur’an di
atas cukup jelas bahwa Islam memerintahkan ummatnya untuk membayar
zakat dan bersedekah kepada kerabat dan fakir miskin. Bukan menjadi
kaya karena berapa banyak orang yang kaya tapi tidak bayar zakat dan
bersedekah.
Hadits Nabi ”Tangan di atas lebih baik
daripada tangan di bawah” adalah himbauan untuk memberi. Artinya orang
yang memberi lebih mulia daripada orang yang meminta. Bukan orang kaya
lebih mulia dari pada orang miskin. Berapa banyak orang yang kaya tapi dari hasil minta-minta suap atau komisi dan enggan bersedekah.
Menjadi
kaya bukanlah tujuan dalam Islam. Berapa banyak orang yang kaya, tapi
dilaknat Allah dalam Al Qur’an. Contohnya Karun. Kekayaannya sangat
besar, namun karena sombong dan enggan menolong, dia mati dibenamkan ke
dalam bumi oleh Allah SWT.
Saking kayanya Karun, kunci-kunci gudang hartanya saja sangat berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat macam Ade Rai…:
”Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri” [Al Qashash:76]
Bukan hanya Karun orang kaya yang disiksa Allah. Sebelumnya banyak orang-orang yang lebih kaya juga dibinasakan oleh Allah SWT:
Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” QS 28.78
Mengharap kaya seperti Karun bukanlah ajaran Islam:
”Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.
Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar”.[Al Qashash:79-80]
Allah membenamkan Karun beserta hartanya ke dalam bumi dan orang yang ingin kaya seperti Karun menyesal:
”Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).
Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu. berkata:
“Aduhai. benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)”. [Al Qashash:81-82]
Ayat di atas jelas bahwa menjadi kaya bukanlah tujuan dalam Islam. Untuk memperjelas saya tampilkan lagi ayat yang lain:
”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” [At Takatsuur:1]
Harta/kekayaan tidak ada manfaatnya jika dari yang haram atau tidak digunakan di jalan Allah:
”Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.” [Al Lahab:2]
Dalam
hal mencari kekayaan, orang sering lupa sehingga yang haram menjadi
halal. Indonesia adalah merupakan satu negara terkorup di dunia padahal
mayoritasnya ummat Islam. Karena ingin kaya, banyak ummat Islam
memilih jalan pintas dengan korupsi, mendapat komisi, dan sebagainya.
Banyak
pejabat yang tidak mau kerja kecuali jika diberi uang padahal
sebetulnya itu memang pekerjaan yang harus dia kerjakan. Sebagai contoh
baru-baru ini ada berita Gubernur BI memberikan uang milyaran rupiah
kepada DPR agar DPR membuat UU tentang BLBI. Untuk apa DPR diberi uang
padahal membuat UU memang tugas mereka? Anggota DPR yang sebagian
berasal dari Parpol Islam kan sudah digaji besar untuk membuat UU,
mengapa harus diberi uang lagi? Inilah akibatnya jika kekayaan jadi
tujuan utama seorang Muslim.
Rasulullah SAW berkata: ”Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.” (Shahih Muslim No.5261)
Dalam
surat Al Maa’uun disebut bahwa orang yang enggan menolong anak yatim
dan fakir miskin dengan barang berguna sebagai pendusta agama meski dia
sholat:
”Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menghardik anak yatim,
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,
orang-orang yang berbuat ria.
dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” [Al Maa’uun:1-7]
Allah tidak memandang apakah orang itu kaya atau banyak harta:
”Dan
orang-orang yang di atas A’raaf memanggil beberapa orang
(pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan
tanda-tandanya dengan mengatakan: “Harta yang kamu kumpulkan dan apa
yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu.” [Al
A’raaf:48]
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan:
”Makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada
fakir miskin);
dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” [Al An’aam:141]
Orang
yang hidup mewah secara berlebih sulit untuk bersedekah. Sebagai
contoh, orang yang hartanya Rp 10 milyar, jika dia hemat dia hanya
memakai Rp 1 milyar untuk kebutuhan hidupnya dan Rp 9 milyar
dibelanjakan di jalan Allah. Tapi orang yang hidup boros, misalnya ada
orang yang barang-barang melekat di badannya (pakaian, sepatu, jam
tangan) saja sudah Rp 2 milyar, bisa menghabiskan Rp 10 milyar untuk
bermewah-mewahan sehingga tidak ada lagi uang tersisa untuk zakat dan
sedekah. Bahkan bisa jadi pengeluarannya berlebih hingga terbelenggu
hutang.
Mengenai pandangan hidup mewah untuk ”meningkatkan
kualitas hidup”, adakah itu sesuai Al Qur’an dan Sunnah Nabi? Allah
melarang kita menghambur-hamburkan harta secara boros. Sebaliknya
memerintahkan kita untuk bersedekah:
”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [Al Israa’:26-27]
Nabi
Muhammad sendiri selaku Nabi dan pimpinan negara di mana kerajaan
Romawi dan Persia sudah hampir jatuh di tangannya meski kaya menolak
hidup mewah. Pada zaman Sahabat kedua kerajaan besar itu takluk di
tangan Islam. Tidak seperti Raja Romawi dan Persia yang hidup mewah
bergelimang harta, beliau hidup sederhana. Nabi tidur hanya beralaskan
pelepah kurma sementara perabot rumahnya sedikit sekali sehingga membuat
Umar ra menangis terharu:
Kisah Umar ra: Aku (Umar) lalu segera masuk menemui Rasulullah saw. yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku meneteskan air mata tanpa dapat kutahan. Rasulullah bertanya: Apakah yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja Persia) bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini. Rasulullah saw. lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi bagian mereka? [Muslim]
Keluarga Nabi tidak pernah 3 hari berturut-turut makan dengan kenyang. Selalu ada saat kelaparan setiap 3 hari.
‘Aisyah melaporkan: Tidak pernah keluarga Muhammad (SAW) makan sampai kenyang dengan roti gandum untuk tiga malam berturut-turut sejak kedatangan mereka di Medina hingga wafatnya” [Muslim]
Inilah sunnah Nabi kita. Kaya,
tapi memilih menyumbangkan kekayaannya untuk kejayaan Islam. Bukan
menumpuk-numpuk kekayaannya untuk bermegah-megahan seperti dalam surat
At Takatsuur.
Para sahabat seperti Usman
bin Affan menyumbang sepertiga hartanya untuk jihad di jalan Allah.
Umar bin Khothob menyumbang separuh hartanya. Dan Abu Bakar menyumbang
seluruh hartanya. Mereka menggunakan hartanya untuk memperkuat
Islam sehingga persenjataan ummat Islam kuat dan lengkap dan bisa
membiayai tentara yang tidak mampu secara finansial. Bukan untuk
kepentingan pribadi secara berlebihan. Nah, semangat memberi, semangat
berinfak inilah yang harus kita tiru.
Sempat para sahabat
dalam 7 peperangan sampai makan belalang karena lapar. Pernah juga
mereka makan seekor kambing yang dimakan beramai-ramai. Meski hidup
prihatin, namun Nabi dan para sahabat dalam berjihad justru luar biasa
hebatnya sehingga dua super power dunia waktu itu, Romawi dan Persia
tidak dapat menaklukkan pasukan Islam. Justru merekalah yang tunduk.
Harta yang ada digunakan bukan untuk kepentingan pribadi atau hidup
mewah, tapi digunakan untuk melengkapi kendaraan, senjata, dan juga
logistik untuk jihad.
Coba bayangkan pasukan mana yang
akan menang? Jenderal yang memilih dana yang ada untuk membeli mobil
mercy dan jaguar sementara panser amfibinya dibiarkan tua (buatan tahun
1962) dan bisa tenggelam dilaut dengan sendirinya atau jenderal yang
memilih mobil yang sederhana dan membeli mobil tank yang canggih untuk
anak buahnya?
Mana yang lebih baik? Jenderal yang memakai
uang yang ada untuk beli pesawat pribadi yang mewah sementara anak
buahnya naik pesawat tua Hercules yang umurnya hampir setengah abad
sehingga belum kena peluru lawan sudah jatuh dengan sendirinya atau
jenderal yang sederhana dan naik pesawat terbang dinas yang dipakai
bersama-sama rekannya kemudian menggunakan sisa uangnya untuk pesawat
tempur yang canggih?
Banyak orang-orang Arab yang kaya,
tapi mereka tidak mampu mengalahkan Israel karena mereka lebih memilih
menggunakan kekayaannya untuk hidup mewah. Bukan untuk membeli
persenjataan yang bagus dan lengkap guna berjihad di jalan Allah.
Orang-orang Arab yang jumlahnya 200 juta orang tak mampu mengalahkan
orang Israel yang hanya 4 juta orang.
Satu penyebab mundurnya ummat Islam adalah Wahn: Cinta Dunia dan Takut Mati:
Tsaubah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena jumlah kami sedikit waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di lautan. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Cinta dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Di
Indonesia banyak orang miskin dan senjatanya sedikit serta
antik-antik. Apakah kita kekurangan uang? Tidak juga. Para pejabat kita
umumnya tidak mempergunakan uang yang ada untuk mensejahterakan
rakyatnya. Tapi untuk memperkaya pribadi. Tak heran jika hartanya
puluhan milyar rupiah dan sering tidak sesuai dengan gaji yang mereka
terima. Banyak yang menghabiskan Rp 2-3 milyar rupiah untuk satu
pernikahan anaknya. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk memberi rumah
tempat berteduh 80 orang.
Tentu saja ini bukan berarti
ummat Islam harus malas mencari rezeki dan hidup miskin. Sebagaimana
Sunnah Nabi dan contoh para sahabat, Nabi bisa kaya dan hidup mewah
jika mau. Tapi beliau lebih memilih untuk bersedekah dan membelanjakan
hartanya di jalan Allah:
Istri Nabi, ’Aisyah berkata bahwa
pernah Nabi pagi-pagi mendapat hadiah yang banyak. Namun sebelum
petang tiba harta tersebut sudah habis dibagikan untuk fakir miskin.
Itulah akhlak Nabi sesuai ayat Al Qur’an di bawah:
Allah SWT berkata, ”Engkau tak akan mendapatkan kebaikan apa pun hingga kalian menyedekahkan sebagian harta yang paling kalian cintai.Ketahuilah, apa pun yang kalian infakkan, Allah pasti mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92).
”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [Al Baqarah:195]
Nabi memiliki rumah
untuk berteduh, kendaraan untuk dakwah dan jihad, baju zirah dan pedang
untuk berperang. Idealnya para Muslim memiliki hal itu. Nabi memilih
yang terbaik manfaatnya, tapi bukan yang termewah/mahal. Sebagai contoh
Nabi memilih cincin perak untuk stempel ketimbang cincin emas. Nabi
juga memilih baju zirah dan pedang dari baja yang kuat ketimbang emas
24 karat yang lunak.
Bukankah ketika kita mencari rezeki,
akan terlihat perbedaannya antara orang yang niatnya hanya untuk kaya
sehingga bisa punya rumah dan mobil mewah serta makan enak dengan orang
yang ingin membelanjakan hartanya di jalan Allah lillahi ta’ala?
Jadi
luruskan niat kita lillahi ta’ala. Masih banyak orang miskin di
sekitar kita, bahkan banyak yang bunuh diri karena kemiskinan. Bantu
mereka. Jangan habiskan harta kita karena gaya hidup kita yang boros.
Dari Umar bin Khottob ra dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh SAW bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal tergantung kepada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Bukhari-Muslim)
Jadi niatkan semua untuk Lillahi ta’ala. Bukan yang lainnya seperti dunia atau harta.
Saat
ini bermunculan motivator Islam. Ini bagus. Tapi jangan sampai kita
mengikuti motivator Barat sehingga akhirnya tenggelam pada
materialisme/duniawi. Meski Islam MELARANG kita melupakan dunia, namun
Islam mengajarkan kita mengutamakan akhirat:
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi” [Al Qashash:77]
”Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia, maka Kami segerakan baginya di dunia dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” [Al Israa’:18]
Allah
mengingatkan kita bahwa akhirat lebih baik dan kekal dari dunia karena
manusia memang cenderung pada dunia hingga banyak yang lupa akan
akhirat:
”Sungguh hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada dunia” [Adh Dhuhaa:4]
”Akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” [Al A’laa:17]
Di
Indonesia banyak orang miskin. Menurut media VHR, 50.000 rakyat
Indonesiabunuh diri karena kemiskinan dalam 3 tahun terakhir. Bahkan di
media Surya Online diberitakan ada anak SD usia 11 tahun yang bunuh
diri karena tidak kuat menahan lapar dan sakit maag yang diderita
karena dia hanya sanggup makan sekali sehari. Tidak sepantasnya ummat
Islam hidup bermewah-mewah sementara mayoritas rakyat hidup miskin
karena ini tanda dari kurangnya iman:
”Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dengan kenyang sementara tetangganya lapar padahal dia mengetahui hal itu.” (HR. Al Bazzaar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tinggalkan Pesan anda sebelum meninggalkan Blog ini. Terima Kasih atas Kunjungannya.