Catatan Ini Dibuat Berdasarkan Postingan seorang Muslimah yang
Membuat saya Terkejut Ketika Membaca apa yang Ia Postingkan didinding
Fb-nya dan Mengetuk hati Saya untuk Membuat Sebuah Catatan Yang Insya
Allah akan Bermanfaat bagi para Pembaca Semua
dan Postingan Tersebut bisa anda lihat dibawah ini
dan Sebuah Refrensi yang Sama Masalah Karma Dapat Ditemukan
para Pembaca rahimakumullah
dalam
catatan ini Bukan Niat Untuk Menghakimi TAPI saya ingin mengulas dan
Meluruskan apa itu Karma menurut Islam karena Banyak Teman Teman kita
Yang terpengaruh oleh Doktrin Doktrin yang diluar Islam Sana Sehingga mencampur ajaran Haq dengan Ajaran Batil. Dan Sepertinya Sudah mendarah Daging diMasyarakat Awan Sekarang
mari Kita Simak
Allah sendiri Berfirman:
QS Al Baqarah (2) : 42 Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
Sebenarnya didalam Hukum Islam tidak ada nama Istilah KARMA karena Allah sendiri Berfirman Dalam Al Quran
Q.s 35:18. Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain[1252].
Q.s 6:164 dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain
Q.s 53: 38. (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
Sesungguhnya
istilah hukum karma/karmaphala tidaklah dikenal dalam syari’at Islam
karena istilah yang demikian ini adalah istilah di dalam ideologi
pokok/keyakinan/aqidah agama dharma. Oleh karena itu tidak selayaknya
kita bertaqlid mengaminkan kesimpulan beliau bahwa hukum karma diakui
keabsahannya oleh Islam kecuali setelah kita mengetahui secara ilmiyah
hakekat hukum karma itu sendiri.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban.” (QS. Al-Isra’: 36)
Maka
kami akan membawakan definisi dan kedudukan penting aqidah hukum karma
dalam pandangan pemiliknya (Hindu dan Budha) agar seorang muslim yang
mencintai Allah Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
memiliki kecemburuan terhadap Dienul Islam bisa membandingkannya dengan
tindakan gegabah dan (maaf) ngawur serta sembrono yang mengaitkan
keyakinan batil dan sesat tersebut dengan dienul Islam yang sempurna.
Maha Suci Allah dari apa yang dikatakannya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.“ (Ali Imran:19)
Pertama,
Hukum karma/karmaphala adalah rukun iman di dalam agama Hindu. Berikut referensi resmi dari agama Hindu:
Bukti referensi lainnya:
Kedua,
Hukum
Karma/Karmaphala memiliki pengertian yang sama sekali tidak ada
kaitannya dengan apa yang diklaimkan dasar hukumnya di dalam Al Qur’an
dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, laa min qarib wa laa min
ba’id, tidak dari dekat, tidak pula dari jauh (meminjam istilah beliau
ketika ditanya tentang Zaitun).
Simak referensi resmi dari agama Hindu di bawah ini:
“PENJELASAN TENTANG KARMA
Berbeda dengan sebagian agama yang mengajarkan tentang “Takdir Tuhan” – dimana kehidupan kita di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang ditentukan oleh takdir Tuhan -, agama-agama dharma [Hindu, Buddha dan Jain] mengajarkan yang berbeda, yaitu “Hukum Karma“.
Kadang ada kesalahpahaman bahwa hukum karma sama dengan “nasib”, bahkan “suratan takdir Tuhan” [berarti semuanya ditentukan Tuhan]. Perlu diketahui bahwa dalam hukum karma tidaklah demikian, “suratan takdir” ini ditulis sendiri oleh diri kita sendiri. Kitalah yang mendesain nasib kita, bukan oleh Brahman, Dewa-Dewi ataupun pihak lain. Dalam ajaran Hindu, Brahman atau Purusha memang diyakini sebagai penyebab utama, tetapi dalam hal ini Brahman sebenarnya hanya “pengamat / saksi abadi“.
Karma berarti “perbuatan / tindakan”. Hukum karma adalah hukum semesta sebab-akibat, dimana setiap tindakan kita akan membuahkan hasil tindakan atau buah karma [karma-phala]. Yang berarti apapun yang terjadi pada diri kita di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, ditentukan sepenuhnya oleh tindakan diri kita sendiri. Tanpa ada intervensi dari Brahman, Dewa-Dewi ataupun pihak lain. Dan yang dimaksud dengan “tindakan” itu adalah pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sendiri….”
http://peradah-semarang.blogspot.com/2011/05/hukum-karma.html
Dan berikut penjelasan dari pihak agama Buddha:
“secara singkat,karma (Pali: Kamma) berarti “perbuatan”,yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan.
Makna yang luas dan sebenarnya dari Kamma, ialah semua kehendak atau keinginan dengan tidak membeda-bedakan apakah kehendak atau keinginan itu baik (bermoral) atau buruk (tidak bermoral)
Sebagian masyarakat akan menyandarkan jawaban atas segala keadaan yang terjadi, baik atau buruk, kepada Tuhan.
Namun
agama Buddha menyangkal ciri ketuhanan seperti itu;… Selama
berabad-abad, doktrin agama Buddha tentang karma, telah sering
disalah-artikan sebagai paham deterministik/takdir.”
Lebih tegas lagi:
“Ajaran Buddha tidak mengajarkan paham “takdir”, juga tidak mengajarkan paham “bebas kehendak”, tapi suatu ‘kehendak-berprasyarat’”
Dari
sejak awal menjelaskan, Hindu,Buddha dan Jain sudah menyatakan dengan
tegas perbedaannya dengan dienul Islam Nampak jelas bahwa hukum karma
sama sekali tidak terkait dengan taqdir Allah Ta’ala. D
Aqidah
batil hukum karma semacam di atas tidaklah ada kaitannya sedikitpun, laa
min qarib wa laa min ba’id (tidak dari dekat, tidak pula dari jauh)
dengan ayat dan hadits yang diklaim (secara dusta!) o
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ.
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qomar: 49)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا.
“Dan Dialah yang menciptakan segala sesuatu lalu menetapkan takdirnya dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ شَىْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزُ وَالْكَيْسُ.
“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai kelemahan dan kecerdasan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ لِلْجَنَّةِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لَهَا وَهُمْ فِي أَصْلَابِ آبَائِهِمْ وَخَلَقَ لِلنَّارِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لَهَا وَهُمْ فِي أَصْلَابِ آبَائِهِمْ.
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan (menetapkan/menakdirkan) siapa saja yang akan masuk surga ketika mereka masih di tulang sulbi ayah-ayah mereka, dan Dia telah menciptakan (menetapkan/menakdirkan) siapa saja yang akan masuk neraka ketika mereka masih di tulang sulbi ayah-ayah mereka.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلَّا وَقَدْ عُلِمَ مَنْزِلُهَا مِنْ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ.
“Tidak ada seorang jiwapun diantara kalian kecuali telah diketahui (oleh Allah karena Dia yang menetapkan) tempat tinggalnya di surga atau di neraka.
Ubadah
bin Ash-Shamit berkata kepada anaknya: “Wahai anakku, engkau tidak akan
merasakan lezatnya hakekat iman hingga engkau mengetahui (meyakini)
bahwa apa yang telah ditetapkan akan menimpa dirimu tidak akan mungkin
meleset darimu dan apa yang telah ditetapkan tidak akan menimpamu tidak
akan mungkin mengenai dirimu. Saya telah mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ
أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ! قَالَ: رَبِّ
وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ
السَّاعَةُ!
“Sesungguhnya makhluk yang pertama
kali Allah ciptakan adalah pena, lalu Dia berfirman kepadanya,
“Tulislah!” Pena bertanya, “Wahai Rabbku, apa yang harus aku tulis?”
Allah menjawab, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat!”
Lalu Ubadah berkata: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan meyakini selain ini maka dia bukan termasuk dariku.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَدْ جَفَّ الْقَلَمُ بِمَا أَنْتَ لاَق.
“Wahai Abu Hurairah, pena takdir telah kering mencatat apa saja yang akan engkau jumpai.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فيما يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيما يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ.
“Sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang melakukan perbuatan penduduk surga berdasarkan apa yang terlihat oleh manusia, padahal dia telah ditakdirkan menjadi penduduk neraka. Dan sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang melakukan perbuatan penduduk neraka berdasarkan apa yang terlihat oleh manusia, padahal dia telah ditakdirkan menjadi penduduk surga.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْغُلَام الَّذِي قَتَلَهُ الْخَضِر طُبِعَ كَافِرًا , وَلَوْ عَاشَ لَأَرْهَقَ أَبَوَيْهِ طُغْيَانًا وَكُفْرًا.
“Sesungguhnya anak muda yang dibunuh oleh Khidhir memang telah ditetapkan menjadi orang kafir, seandainya dia berumur panjang pasti dia akan menyeret kedua orang tuanya kepada sikap melampaui batas dan kekafiran.”
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا (٢١)
“Dan siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah.” (QS. Al-An’am: 21)
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٣)
“Katakanlah: Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mengharamkan kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (Dia mengharamkan) kalian mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)
Allah Ta’ala berfirman:
أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لا يَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلا تَعْقِلُونَ (
١٦٩)
“Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka; yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, dan mereka juga telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?! Dan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, maka tidakkah kalian mengerti?” (QS. Al-A’raf: 169)
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ (٦٩) مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ (٧٠)
“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah tidak beruntung. Itu hanya akan menghasilkan kesenangan sementara di dunia, kemudian hanya kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami akan merasakan kepada mereka siksaan yang berat disebabkan kekafiran mereka.” (QS. Yunus: 69-70)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أُولَئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَى رَبِّهِمْ وَيَقُولُ الأشْهَادُ هَؤُلاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (١٨)
“Dan siapakah yang lebih zhalim dari orang yang membuat-buat kedustaan terhadap Allah?! Mereka itu akan dihadapkan kepada Rabb mereka dan para saksi akan berkata: “Orang-orang Inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka.” Ingatlah, kutukan Allah ditimpakan atas orang-orang yang zhalim itu.” (QS. Huud: 18)
Ketiga,
Hukum karma (dalam Buddha/Hindu) tidak seperti yang digambarkan diatas
”Seorang berbuat kejelekan, ada seseorang dia akan mendapatkan akibat yang semisal. Nah hal yang semacam ini mungkin saja ada
sebab dia adalah bentuk dari siksaan, bentuk dari pembalasan, iya,
bentuk dari pembalasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan
bahwa pembalasannya itu sangatlah berat.” tetapi juga bisa bermakna
karma yang baik (yang kesemuanya sama sekali tidak terkait dengan
pembalasan/hukuman atau pahala dari Allah) :
“Kamma(bahasa Pali)
atau Karma (bahasa Sansekerta) artinya perbuatan. Kamma atau Karma
adalah suatu perbuatan yang dapat membuahkan hasil,dimana
perbuatan baik akan menghasilkan kebahagiaan dan sebaliknya perbuatan
jahat juga akan menghasilkan penderitaan atau kesedihan bagi pembuatnya.” (http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html)
“Dalam kegiatan sehari-hari kita sering mendengar kata “Karma”. Panggunaan kata “Karma”
ini pada umumnya ditujukan untuk manggambarkan hal-hal yang tidak baik;
karma selalu dihubungkan dengan karma buruk. Padahal sebetulnya karma
bukan hanya karma buruk tetapi juga ada karma baik….Konsep
yang menganggap bahwa karma selalu karma buruk dan sebagai satu-satunya
penyebab kejadian ini dapat dikatakan sebagai suatu pandangan yang salah
dan merupakan kelemahan terhadap penjelasan hukum karma.”
“Hukum
karma sama sekali bukan tentang hukuman atau hadiah [pahala] dari
Tuhan, tapi tentang tindakan kita sendiri beserta seluruh konsekuensinya.
Kalau kita sombong, maka yang akan datang kepada kita adalah kebencian.
Kalau kita penuh kebaikan, maka yang akan datang kepada kita adalah
simpati dan pertolongan. Kalau kita menyakiti, maka kita akan disakiti.
Kalau kita penuh kesabaran, maka yang akan datang kepada kita adalah
simpati dan kasih sayang. Kalau kita banyak mengambil kebahagiaan orang,
maka kita juga akan banyak mengambil penderitaan, dll.”
(http://peradah-semarang.blogspot.com/2011/05/hukum-karma.html)
Nampak jelas bahwa hukum karma murni tentang tindakan kita sendiri beserta seluruh konsekuensinya dan sama sekali bukan tentang hukuman atau hadiah [pahala] dari Allah.
Dari celah mana bisa melegalkan keyakinan batil hukum karma semacam ini dengan ayat dan hadits yangbawakan?
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ (١١٦)مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١١٧)
“Dan janganlah engkau mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kedustaan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah tidak akan beruntung. Itu adalah kesenangan yang sedikit dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nahl: 116-117)
Allah Ta’ala berfirman:
وَيْلَكُمْ لا تَفْتَرُوا عَلَى اللهِ كَذِبًا فَيُسْحِتَكُمْ بِعَذَابٍ وَقَدْ خَابَ مَنِ افْتَرَى (٦١)
“Celakalah kalian, janganlah kalian mengada-adakan kedustaan terhadap Allah sehingga Dia membinasakan kamu dengan adzab, dan sesungguhnya telah merugilah orang yang mengada-adakan kedustaan.” (QS. Thaha: 61)
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللهِ وُجُوهُهُمْ مُسْوَدَّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِينَ (٦٠)
“Dan pada hari kiamat engkau akan melihat orang-orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah, muka mereka menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?” (QS. Az-Zumar: 60)
Ke-empat,
Di
dalam keyakinan agama Hindu, hukum karma yang dialami seseorang
memiliki keterkaitan erat dengan rukun iman Hindu yang lain,
menitis/reinkarnasi dari kehidupan sebelumnya, sekarang dan kelahirannya
pada masa yang akan datang:
“KARMA-PHALA [BUAH KARMA]
Berdasarkan
rentang waktu, ada tiga jenis karma-phala yang didasarkan atas waktu
dari buah karma itu matang dan kita terima, yaitu :
- 1. Sancita Karmaphala [karma masa lalu] tindakan yang kita lakukan di masa lalu atau kehidupan [kelahiran] sebelumnya, yang buah karma-nya [karma-phala] baru matang dan kita terima di saat ini atau di kehidupan [kelahiran] sekarang.
- 2. Prarabda Karmaphala [karma saat ini] – tindakan yang kita lakukan di saat ini, yang buah karma-nya [karma-phala] matang dan kita terima di saat ini juga.
- 3. Kriyamana Karmaphala [karma masa depan] – tindakan yang kita lakukan di saat ini, yang buah karma-nya [karma-phala] baru matang dan kita terima di masa depan atau di kehidupan [kelahiran] berikutnya.”
Demikiankah ya kesesuaian ayat dan hadits yang paduka bawakan dalam mendukung keyakinan batil hukum karma?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ, لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً؛ يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ, وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ, لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً؛ يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang diridhai Allah, sedangkan dia tidak memperhatikannya, padahal dengan sebab itu Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya benar-benar ada seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang dimurkai Allah, sedangkan dia tidak memperhatikannya, padahal dengan sebab itu dia terjatuh ke dalam neraka Jahannam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا؛ يَزِلُّ بِهَا فِيْ النَّارِ, أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ.
“Seorang hamba benar-benar mengatakan sebuah kata tanpa dia pikirkan baik buruknya, dengan sebab itu dia tergelincir kedalam neraka yang lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.”
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة, لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا؛ يَهْوِيْ بِهَا سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا فِيْ النَّارِ.
“Sesungguhnya seseorang benar-benar mengatakan sebuah perkataan yang dia memandang bahwa itu tidak mengapa, padahal dengan sebab itu dia tergelincir kedalam neraka sejauh 70 tahun perjalanan.”
Dari Bilal bin Harits Al-Muzaniy Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ تَعَالَى, مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ؛ فَيَكْتُبُ اللهُ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ تَعَالَى, مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ؛ يَكْتُبُ اللهُ عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Sesungguhnya seseorang benar-benar ada yang mengatakan sebuah kata yang diridhai Allah yang dia tidak menyangka sejauh mana akibat ucapan itu, maka Allah menulis keridhaan-Nya bagi orang tersebut sampai Hari Kiamat dengan sebab ucapan itu, dan sungguh seseorang benar-benar ada yang mengatakan sebuah kata yang dimurkai Allah yang dia tidak menyangka sejauh mana akibat ucapan itu, maka Allah menulis kemurkaan-Nya atas orang tersebut sampai Hari Kiamat dengan sebab ucapan itu.”
Abu
Bakr Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Langit yang mana yang akan menaungiku
dan bumi yang mana yang akan kujadikan pijakan jika aku berani
mengatakan tentang kitab Allah tanpa ilmu.”
Ke-lima,
Bagaimana
pula karma yang diterima dalam masa kelahiran berikutnya jika seseorang
itu melakukan kedurhakaan/perbuatan jahat dalam pandangan agama Buddha?
Berikut contoh dan akibatnya:
“Pancanantariya-kamma, yaitu 5 perbuatan durhaka.
1. Membunuh ayah
2. Membunuh ibu
3. Membunuh seorang Arahat
4. Melukai seorang Buddha
5. Memecah belah Sangha
Mereka
yang melakukan salah satu dari 5 perbuatan durhaka di atas, setelah
meninggal akan lahir di alam Apaya (duka/rendah), yaitu alam neraka,
binatang, setan dan raksasa.” (http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html)
Di
madrasah mana ya ustadz seorang muslim diajari aqidah reinkarnasi
(terlahir pada kehidupan berikutnya) bahwa manusia akan berubah karmanya
terlahir di alam binatang, setan dan raksasa jika melakukan
perbuatan-perbuatan di atas?! Allahul musta’an.
Sebaliknya, jika dia melakukan karma yang “baik” seperti meditasi:
“Kusala-garuka-kamma.
Adalah perbuatan “bermutu”, yaitu dengan bermeditasi, hingga mencapai
tingkat kesadaran jhana. Ia akan dilahirkan di alam sorga atau lapisan
kesadaran yang tinggi, yang berbentuk atau tanpa bentuk (16 rupa-bhumi dan 4 arupa-bhumi)” (http://artikelbuddhist.com/2011/05/hukum-karma.html)
Dari
penjelasan singkat berbagai uraian tentang hukum karma semacam di atas,
bagaimana mungkin seorang muslim yang lurus dalam memahami Kitabullah
dan Sunnah, memiliki aqidah tauhid yang kokoh lagi bersih akan berani
bersikap gegabah dengan mengaitkan keyakinan batil dan sesat tentang
hukum karma-reinkarnasi dengan dienul Islam yang suci dan sempurna?! Dan
bahkan mencarikan pembenaran dan keabsahannya dengan ayat Al Qur’an dan
Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?!
Maka
selayaknya bagi kita semuanya untuk berbicara sebatas apa yang
diketahuinya saja agar tidak menjadi sesat dan menyesatkan
saudara-saudaranya yang lain.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
‘Anhu berkata: “Wahai manusia, siapa diantara kalian yang mengetahui
sesuatu silahkan dia berbicara, dan barangsiapa yang tidak mengetahui
maka hendaklah dia mengatakan terhadap perkara yang tidak dia ketahui
itu, “Wallahu a’lam.” Karena sesungguhnya termasuk ilmu yang dimiliki
seseorang adalah ketika dia mengatakan terhadap perkara yang tidak dia
ketahui itu, “Wallahu a’lam.”
Kesimpulan
untuk
menarik kembali pernyataannya yang menyesatkan tersebut (apalagi hal
ini terkait dengan masalah aqidah), berlepas diri dari aqidah hukum
karma untuk kemudian rujuk, bertaubat dan menegaskan kepada umat bahwa
aqidah batil hukum karma tidaklah memiliki landasan hukum (apapun!) di
dalam syari’at Islam dan syari’at Islam sama sekali tidak memiliki
keterkaitan (apapun!) dengan kebatilan aqidah hukum karma, laa min qarib
wa laa min ba’id.
Ingatlah ya Teman Teman bahwa…
Saudara yang sejati adalah yang berkata benar kepadamu
Dan bukanlah orang yang selalu membenarkan perkataanmu
Pesan Penulis Untuk Pembaca
dimana Allah sendiri Berfirman:
لا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawaban.” (QS. Al-Isra’: 36)
dan Hadis nabi sendiri Melarang kita Untuk Mengikuti AjaraN Mereka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. (HR. Abu Dawud,
Semoga dengan adanya Catatan Ini dapat Membuka Mata hati Kita dan Kembali Keajaran Islam Sebenarnya
jika menurut Pembaca Bahwa Catatan Ini Bermanfaat Silakan Share Sebanyak Mungkin
Hak cipta; Hanya Milik Allah
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tinggalkan Pesan anda sebelum meninggalkan Blog ini. Terima Kasih atas Kunjungannya.